Jul 24, 2012

Tingkatan *Level) Dalam Puasa: DI mana kah level kita?


Tingkatan Dalam Puasa

Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin menulis, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga yaitu, puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

1. Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan diri dari makan, minum dan jima’ mulai fajar sampai malam (Maghrib)
"..minal fajri tsumma atimmus shiya ama ilallaili.." (QS 2:187)
"..Dari fajar kemudian sempurnakanlah kamu puasa sampai malam.."
Apabila kamu makan dan minum diantara waktu fajar sampai maghrib dengan sengaja, maka batallah puasanya.
 2. Puasa Khusus, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ghozali dalam bukunya Ihya Ulumuddin jilid I
"Wa amma shoumul khushushu fahuwa kaffussam'u walbashoru wallisanuwalyadu warrijlu wasaa-iril jawarihil 'anil atsaami" (Bab Asrorosh shoum, halaman 24)
Adapun puasa khusus, disamping menahan tiga hal itu, juga memelihara seluruh anggota tubuh. Maka apabila Puasa Umum yaitu puasa perut dan syahwat, mencegah makan, minum dan jima', maka puasa khusus adalah puasanya mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan, mencegah penglihatan, pendengaran, perkataan, gerakan yang tidak terpuji bagi syara'.

3. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kemaksiatan, kehendak hina, pikiran duniawi, serta mencegah memikirkan apapun yang selain Allah SWT.
Diterangkan oleh Imam Ghozali didalam bukunya Ihya Ulumuddin jilid I, bab Asrorush Shoum
"Wa amma shoumu khusushulkhusus fashoumulqolbi 'anilhimamid daniyyah wal afkaariddun yawiyyah wakaffihi 'ammaa sawallohi azza wa jalla bilkulliyyati wayahshululfithru fihaadzasshoumi bil fikri fimaasawallohi azza wajalla walyaumil aakhir wabilfikri fiddunyaa illaa dunyan turoodu liddini fa inna dzaalika minzaadil aakhiroti walaisa minadduni yaa haqqun".
Artinya : Adapun puasa yang Khusus dari khusus, yaitu puasanya hati dari pada segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya dari selain Alloh Azza wa Jalla secara keseluruhan. Dan hasillah berbuka daripada puasa ini, dengan berfikir pada selain Alloh Azza wa Jalla dan hari akhirat, dan dengan berfikir tentang dunia, kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama. Maka yang demikian itu, adalah sebagian dari pada perbekalan akherat dan tidak termasuk dunia yang sebenarnya.

Puasa level ketiga adalah puasanya para nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Puasa level kedua adalah puasanya orang-orang salih, sedangkan puasa level pertama adalah puasanya orang kebanyakan. Karenanya, minimal puasa level kedua yang seharusnya kita raih selama Ramadhan, akan lebih baik jika kita bisa meraih puasa level ketiga.

Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan enam hal untuk mencapai kesempurnaan puasa tingkatan kedua.

Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan padanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya.”

Kedua, menjaga lidah dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca al-Qur’an. Rasul saw bersabda: “Dua perkara merusakkan puasa yaitu, mengumpat dan berbohong.”

Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah saw menjelaskan: “Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa.”

Keempat, mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan makanan yang syubhat dan haram.

Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana ia bias mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang berlebihan.

Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja’), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan optimisme.

(Disarikan dari Ihya Ulumuddin)

No comments:

Post a Comment